Sabtu, 20 Agustus 2011

Pak AK Djaelani, Pak Kastanto, Dalam Kenangan 2011

Oleh : Bambang Haryanto
Email : trahkastanto (at) hotmail.com


Radit, anak tampan itu, kini tak lagi bisa pergi ke Jumatan bersama eyangnya. Tetapi ia nampak tabah ketika mengantar eyangnya, Drs Abdul Kadir Djaelani, dimakamkan di siang hari terik bulan Agustus, di Pemakaman Umum Kajen, Wonogiri.

Sebenarnya tidak hanya Radit (foto) yang merasa kehilangan eyang tercintanya. Melihat jajaran karangan bunga yang menyertai upacara pemakaman yang dipimpin oleh Bapak Slamet Sadono, sebenarnya Wonogiri telah kehilangan pendidik, tokoh budaya dan tokoh masyarakat yang dikenal luas dan menjadi rujukan pertanyaan hal-ihwal kebudayaan, khususnya kebudayaa Jawa.

Ada karangan bunga dari Danar Rahmanto, Bupati Wonogiri. Paguyuban Permadani Pusat (Semarang) dan Wonogiri. Politisi Partai Golkar sampai BKK Wonogiri. Ketika jenazah diberangkatkan dari rumah duka Kajen Rt 1/RW X, nampak pelbagai unsur masyarakat Wonogiri hadir di sana.

“Sifat kebapakan merupakan sifat yang menonjol dari beliau.” Demikian tukas spontan dari Suliyanto, S.Pd, guru SMP Negeri 1 Wonogiri dan kawan seperjuangan beliau dalam organisasi Permadani. “Organisasi ini kan terdiri dari pelbagai macam orang dan karakter. Nah, Pak Djaelani yang ngrakani, merengkuh semua unsur itu untuk menjadi padu.”

Kelebihan itu kiranya yang kemudian membuat organisasi Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani). Wonogiri berkembang. Tidak hanya berjaya di telatah Wonogiri, tetapi mampu membuka cabang-cabang sampai kawasan Karanganyar dan Pacitan.

Permadani adalah ormas dalam bidang kebudayaan, nonpolitik dan nonkomersial, yang didirikan di Semarang 4 Juli 1984. Nama itu dipilih oleh tokoh kebudayaan dan dalang terkenal, Ki Nartosabdo. Di Jawa Tengah telah menyebar hingga 21 kabupaten/kota madya dan di Jawa Timur menjangkau 12 kabupaten/kota madya.

Di Kabupaten Wonogiri sendiri, pada tahun 2007 saja, telah merambah 15 kecamatan dan aktivitas utamanya selama ini mencakup penyelenggaraan kegiatan yang dalam bahasa Jawa disebut pawiyatan panatacara tuwin pamedhar sabda, kursus protokoler atau master of ceremony dan pidato berbahasa Jawa.

Mencatat kiat horse sense. Di Permadani itulah saya mengenal Pak Djaelani. Atas prakarsa salah satu tokoh Permadani, Mas Otong Tri Lono, pada tanggal 27 Mei 2007, saya diminta untuk berbagi wawasan mengenai kiprah kaum epistoholik untuk warga Permadani Kabupaten Wonogiri.

Pembawa makalah lainnya adalah Suliyanto, S.Pd., guru SMP Negeri 1 Wonogiri dan pembawa acara kajian budaya dan bahasa Jawa di Radio Gajah Mungkur, Wonogiri. Ia akan membawakan makalah sesudah saya, berjudul “Mengkaji Pokok-Pokok Pelajaran Kursus Bahasa Jawa-Pembawa Acara-Pidato Khas Permadani Wonogiri.”

Keesokannya, Mas Suliyanto, kelahiran Pracimantoro yang lulusan cum laude IKIP Semarang itu menyajikan makalahnya dengan PowerPoint. Bahasannya sangat komprehensif, sejak dari kesusasteraan jawa, siklus hidup manusia berdasarkan kosmologi Jawa, sampai seputar dunia perkerisan.

Hari Sabtu malam, saya bersama pak Otong itu menuju ke aula SDN 1 Wonogiri, tempat sarasehan esok harinya. Sekitar 400 m dari rumah saya. Jalan kaki. Melihat-lihat lokasi dan mempersiapkan segala hal. Kami bertemu dengan mas dalang RMT Liliek Guna Hanoto Diprono. Beliau ini adalah mantan kepala lingkungan (kaling) kampung saya, Kajen. Saat bertemu di tahun 80-an, badannya langsing. Kini nampak subur dan makmur.

Juga bertemu dengan ketua Permadani Wonogiri, Drs. AK Djaelani. Ketika ia salami sambil menyebut nama ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, beliau langsung nyambung. Kalau tidak salah, setahu saya belasan tahun lalu, untuk urusan menjadi panitia hajatan di Kajen atau mungkin main rummy di kalangan bapak-bapak, beliau adalah sohib almarhum ayah saya Kastanto Hendrowiharso yang meninggal tahun 1982.

Sebelumnya, kami kadang ketemu di jalan usai jalan kaki pagi, tetapi tak ada “kontak” di antara kami. Oleh karena itu timbul kejadian lucu, demikian cerita Mas Otong kemudian, bahwa mas Liliek dan pak Djaelani itu tidak tahu sama sekali tentang kiprah saya sebagai warga Epistoholik Indonesia selama ini.

Usai membawakan makalah, Pak Djaelani kiranya tertarik terhadap isi paparan saya mengenai kiat sukses a la pakar pemasaran Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991). Kiat itu telah saya tuliskan saat itu untuk beliau.

Setelah pertemuan itu, sekitar 3-4 kali acara wisuda Permadani, saya selalu hadir. Juga untuk bersilaturahmi dengan Pak Djaelani. Yang sering ketemu adalah ketika usai jalan kaki pagi, saya pergoki beliau sedang menuju kios koran Vemby untuk membeli koran. Sedang pada saat sholat Jumat, nampak ia disertai cucunya, Radit tadi.

Beliau yang entengan, murah hati, beberapa kali saya potret ketika beliau didapuk menjadi wakil fihak keluarga yang sedang dirundung kesripahan. Misalnya, ketika meninggalnya teman SD saya Paulus Suparno sampai wafatnya tokoh dalang dan budaya Jawa, Bapak Oemartopo (foto) di tahun 2008.

Penyesalan saya sekarang adalah, adalah tidak kesampaiannya gagasan saya untuk sowan beliau guna menunjukkan foto-foto jepretan saya tersebut. Juga memohon kesan-kesan ketika beliau aktif menjadi tokoh kampung Kajen bersama almarhum ayah saya.

Bapak Drs. Abdul Kadir Djaelani, pensiunan Agraria/BPN, telah dipanggil Yang Maha Kuasa pada tanggal 18 Agustus 2011, Kamis Pon, Jam 18.15 di RSUD Soediran Mangunsumarso, Wonogiri. Beliau mencapai usia 70 tahun. Beliau dimakamkan di Pemakaman Umum Kajen, Jumat Wage, 19 Agustus 2011.Berita wafatnya beliau ditulis oleh Bambang Purnomo, teman SMP saya yang kini wartawan Suara Merdeka di korannya,20 Agutus 2011 (foto).

Semoga keluarga yang ditinggalkan, yaitu Ibu Harsiti, putra/putrid yang terdiri Waskito Budi Nugroho/Menik Suratmi, S.Pd (Jakarta), AMS Adi Prabowo/Etik Widyati, S.Pd (Wonogiri), Rahmawati Tri Hastuti/Ajid BR (Wonogiri), Ida Kusumawati/Misdi (Jakarta), Sari Indah Listyani/Prasetyo Agus (Wonogiri), beserta cucu, dianugerahi kesabaran, ketegaran dan iman dalam suasana yang sulit saat ini.

Selain Bapak Sarono yang mewakili Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI), di antara pelayat juga saya temui beberapa mantan guru saya di SMP Negeri 1 Wonogiri. Misalnya, Bapak Mufid Martoadmojo, Bapak H. Soepandi, BA yang membacakan doa, dan guru gambar, Bapak Mulyonowasto. Semua mendoakan agar Bapak Djaelani yang wafat di tengah bulan Ramadhan ini senantiasa memperoleh kesejahteraan di sisi Allah.

Sugeng tindak, Pak Djaelani.



Bambang Haryanto
Wonogiri, 21/8/2011