Jumat, 30 Desember 2011

Trah Kastanto, Pak Lurah Tarmin dan Prestasi Kajen Dalam Olahraga

Oleh : Broto Happy Wondomisnowo
Warga Kajen, wartawan Tabloid BOLA, Jakarta


Seluruh warga Kajen yang ada di mana pun rasanya akan berduka mendalam atas wafatnya Bapak Sutarmin Marto Semito pada Kamis, 22 Desember 2011 malam dalam usia 86 tahun.

Pak Tarmin tidak saja menjadi orangtua dan kakek bagi anak dan cucunya, tetapi juga pemimpin, teladan, dan sekaligus sesepuh warga Kajen.

Sebagai salah satu warga, saya pun ikut berbela sungkawa atas kepergiannya menghadap Sang Khalik. Semoga segala amal baik dan ibadahnya bisa diterima di sisiNya.

Pak Tarmin bagi saya, , bukan hanya seorang lurah (sebutannya dulu) dan kepala lingkungan. Mendiang juga motivator ulung yang mampu membangkitkan semangat seluruh warganya. Ketika di usia remaja pada akhir tahun 1970-an, saya bisa merasakan bagaimana Pak Tarmin ikut berjasa besar dalam menggelorakan semangat berolahraga saya. Sentuhan midas itu pula yang kemudian ternyata ikut membangun karier hingga bisa menjadi wartawan olahraga di Tabloid BOLA, Jakarta.


Top di Wonogiri. Saat saya remaja, kegiatan olahraga di kampung Kajen termasuk begitu marak. Aktivitas para remajanya bisa dibilang melebihi apa yang dilakukan rekan sebaya di kampung sekitar Kajen, bahkan seluruh Kecamatan Kota Wonogiri.

Kegiatan olahraga di Kajen kala itu termasuk menonjol. Pak Tarmin-lah yang ikut menyuburkan semangat berolahraga di kalangan remaja Kajen. Mulai dari kegiatan sepakbola, bola voli, basket, bulutangkis, hingga tenis meja, bisa ditemui di berbagai tempat di Kajen dan sekitarnya.

Hebatnya, hampir seluruh remaja Kajen saat itu begitu menggilai kegiatan olahraga tersebut. Setiap sore atau akhir pekan, adalah hari olahraga bagi para remaja Kajen.

Photobucket
Olahraga keluarga. Arena bermain pingpong keluarga Kastanto di kampung Kajen nampak sedang terpakai oleh Slamet "Oo" Yuwono (membelakangi lensa) melawan Bhakti "Nuning" Hendroyulianingsih.Yang berkaos nomor 9 adalah Broto Happy.

Photobucket
Menunggu giliran. Pertandingan antara Slamet Yuwono melawan Nuning sedang ditunggui oleh adik-adiknya, Betty (kiri) dan Bonny. Arena pingpong ini juga menjadi tempat berkumpul dan berolahraga bagi warga Kajen lainnya.

Atlet pingpong amatir keluarga Kastanto, Kajen, Giripurwo, Wonogiri, era 1970-an, Atlet pingpong keluarga. Dari kiri : Basnendar, Betty, Bonny, Slamet Yuwono (Oo), Broto Happy (di belakang) dan Nuning.
Istirahat dan berpose. Dari kiri : Basnendar, Betty, Bonny, Slamet Yuwono (depan), Broto Happy (belakang) dan Nuning.

Salah satu bukti, atas inisiatif ayah saya Kastanto Hendrowiharso, di halaman rumah saya disediakan meja pingpong. Saban akhir pekan, banyak yang main. Bahkan hingga larut malam. Mas Bajuri (foto bawah, dipotret oleh Bambang Haryanto, 2008) kala itu bisa disebut sebagai maestro pingpong Kajen. Ia bermain menawan dengan pola permainan yang super ultra defensive namun sangat menghibur.

Saya masih ingat dengan teriakan khasnya: "Loncis! Loncis!" setiap bola Mas Bajuri mati, keluar atau menyangkut di net. Selain di rumah saya, di tempat Pak Wasimin di RT 3 ada meja ping pong pula.

Main sepakbola, karena tidak punya arena, biasa dilakukan di Lapangan Kabupaten. Hampir saban sore kami bermain si kulit bundar ini. Baru menjelang Mahgrib, kita bubaran. Kita main bola dengan nyeker alias tanpa sepatu bola. Maklum, sepatu bola saat itu termasuk barang mewah. Karena keterbatasan itu pula, kami terpaksa harus patungan untuk membeli bola.

Nama-nama seperti Agus Doyok, Djentot Winarno, Si Sur, Kristanto, Heru Goang, Bagong, Widodo Jendul, Juki, Sigit, Heri, Iguk, Agung, Dayat, Djayadi, juga saya, adalah sebagian yang main bola.

Bahkan warga yang usianya sudah layak disebut dewasa seperti Mas Misdi, Mas Banon, Mas Eko Winarso, Mas Jito dan juga Lik Bawarto ikut main bal-balan.

Pasukan Biru. Belakangan, setelah banyak pemain bisa membeli sepatu bola, kegiatan ini meningkat. Saat dipimpin Pak Tarmin pula, Kajen akhirnya memiliki tim sepakbola di bawah nama klub Perdikan. Kala itu seragam kebanggaannya adalah kaus warna biru dipadu warna putih di bagian lengan, dengan celana dan kaus kaki merah. Hampir mirip dengan tim nasional Prancis.

PS Perdikan tak hanya berlatih, tetapi juga menggelar lawatan ke daerah lain. Klub ini yang dimotori Lik Bawarto (sekarang jadi camat) pernah main lawan tim Wonoboyo di Lapangan Bantarangin, samping SMP Negeri 2. Juga menghadapi klub Wonokarto di Stadion Wonokarto.

Klub kebanggaan warga Kajen ini pun pernah melawat ke daerah lain, seperti Tirtomoyo, Ngadirojo, Eromoko, hingga ke Pule, Selogiri.

Di lapangan Pule ini, saya punya kisah yang tidak terlupakan. Ketika melawan klub setempat, baru setengah babak, gawang Mas Eko Winarso sudah kebobolan dua gol.

Perdikan di pertengahan babak kedua, akhirnya bisa menipiskan ketertinggalan menjadi 1-2 lewat scrimage di gawang lawan. Siapa sang pencetak gol tidak jelas. Pemain-pemain Kajen juga tidak ada yang berani mengklaim dirinya sebagai pencetak gol. Pokoknya 1-2 keduduka akhirnya.

Pertandingan pun tinggal hitungan menit akan bubar. Saat itu, saya bertanya ke wasit, tinggal berapa menit lagi pertandingan akan berakhir. Sang pengadil pun menjawab: "Tinggal 5 menit," begitu ujarnya.

Karena tidak ingin kalah, dan waktu makin menipis, para pemain PS Perdikan langsung meningkatkan intensitas serangan. Gelombang serangan yang sporadis itu akhirnya berbuah pelanggaran di sisi kiri daerah pertahanan lawan. Saya sebagai libero, ikut naik membantu serangan.

Tendangan bebas di luar kotak pinalti diambil Agus Doyok. Dia mengarahkan ke Mas Banon. Karena memiliki postur jangkung layaknya Peter Crouch, pemain timnas Inggris dan juga klub Stoke City di Liga Inggris, dengan membelakangi gawang, Mas Banon bisa sempurna menyundul bola.

Dewi Fortuna rupanya berpihak kepada saya. Sundulan itu tepat mengarah ke saya. Dan tanpa mengontrol, si kulit bundar itu langsung saya embat sekeras-kerasnya dan mengoyak gawang lawan tanpa bisa ditahan kiper. Gol!

Skor pun berubah menjadi 2-2 dan beberapa saat kemudian sang wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan.

Saktinya Dewaruci. Setelah PS Perdikan sinarnya meredup, di Kajen lahir klub sepakbola Dewaruci. Klub ini diprakarsai Mas Djoko Sudono, pemilik usaha sablon "DS" yang berdiri di RT 2, persis di sebelah selatan SKKP atau SMP 3 dulu.

Dewaruci FC juga memakai warna biru benhur sebagai warna kebanggaannya. Seragamnya serba biru, mulai dari kaus dan celana, serta kaus kaki putih. Di bagian dada terdapat gambar sablon putih tokoh wayang Dewaruci. Kalau basah kena keringat atau kehujanan, gambar Dewarucinya malah makin jelas.

Para pemainya, bisa disebut di antaranya, Agus Doyok dan adiknya, Heru Goang, Bobby (putra Pak Soenarko), Agung, Heru (anak Gerdu), Ucok, saya, dll. Sebagai kiper adalah Prapto, dia anak Pracimantoro yang ngenger di Kajen untuk meneruskan sekolah. Sementara si Ucok ini kemudian malah dipanggil memperkuat tim perserikatan kebanggaan Wonogiri, Persiwi.

Tawuran fanatisme. Kegiatan lain selain sepakbola yang juga berkembang adalah voli. Atas prakarsa Pak Tarmin pula, kita bisa membeli bola voli yang bagus, beserta netnya. Duit untuk membeli peralatan itu didapat lewat kerja bakti memotong pohon beringin yang sudah roboh diterjang angin kencang.

Ceritanya, pohon beringin di tepi anak sungai Bengawan Solo di daerah perbatasan RT 1 dan 2 di Kajen Wetan, tepatnya di seberang rumah Pak Maun, roboh. Karena takut "sang penunggu marah" tidak ada yang berani mengusyiknya. Akhirnya lewat keputusan Pak Tarmin dengan dibantu Mbah Marjan, para warga berani menebang cabang pohon beringin besar yang roboh.

Setiap Minggu warga Kajen, terutama para pemuda dan remaja, kerja bakti menebang cabang yang patah itu. Ranting, cabang, dan pokok kayu dipotong kecil-kecil. Setelah dikumpulkan, kemudian dijual. Hasilnya untuk membeli peralatan voli. Pelatih voli saat itu adalah Mas Jito yang piawai, maklum dia lulusan Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) Solo.

Hanya saking semangatnya, ketika digelar pertandingan voli antar RT untuk menyambut Agustusan, sempat terjadi kejadian yang memalukan. Lapangan di bawah rumpun bambu di kebun milik Mbah Po yang berada di lingkungan RT 4 (saat itu), menjadi saksi sejarah bagaimana fanatisme para remaja dan pemuda dalam membela korps-nya berbuntut perkelahian yang melibatkan beberapa anggota warga RT 4 dengan RT 6.

Gara-gara kejadian ini, kami para remaja mengenangnya sebagai Tragedy Heysel, mengingatkan akan matinya 39 suporter Juventus saat dihabisi pendukung Liverpol dalam ajang final Liga Champion 1985 di Stadion Heysel, Belgia!

Menyebrang kali. Di era Pak Tarmin pula, sudah dirintis acara persahabatan lewat titian muhibah khusus olahraga antara warga Kajen dan Kampung Pengkol yang dipisahkan Sungai Bengawan Solo. Ketika itu dipertandingkan cabang voli dan ping pong putra-putri. Kita nglurug ke desa seberang untuk bertanding di dua cabang tersebut.

Sementara menyangkut makan-minum dan konsumsi kita membekali sendiri dengan menenteng teko berisi air. Begitu sebaliknya, di lain waktu gantian Kajen bertindak sebagai tuan rumah.

Tujuan utama kegiatan ini bukan semata-mata mencari kemenangan di olahraga. Namun ada yang jauh lebih penting, yaitu menjalin hubungan harmonis antar warga dua desa yang dipisahkan sungai tersebut. Maka, berkat hubungan diplomatik yang harmonis ini, tidak ada lagi namanya tawuran antar kampung, seperti yang marak belakangan ini di Tanah Air.


Kerusuhan di Kodim. Kegiatan lain yang menonjol adalah bermain bola basket. Lewat perkumpulan BBKC (Bola Basket Kajen Club), remaja-remaja Kajen dihimpun untuk menekuni cabang andalan Negeri Paman Sam itu. Latihannya terpaksa nglurug, kalau tidak ke lapangan SMA Negeri 1, bisa juga ke lapangan Kodim.

Begitu bel berakhirnya jam kerja perusahaan jamu Air Mancur terdengar (sekitar jam 3 sore), itu menjadi pertanda remaja-remaja Kajen berkumpul untuk segera berangkat berlatih. Berkat latihan rutin, penampilan pemain-pemain Kajen makin oke.

Pernah suatu ketika digelar pertandingan basket antar klub se-Wonogiri. BBKC ternyata tampil memikat. Berbekal permainan penuh semangat dan kompak, BBKC bisa tampil ke final. Sukses ke final ini pun disambut hangat oleh orangtua pemain. Keberhasilan ini pun menjadi buah bibir warga masyarakat Kajen.

Hari yang dinanti tiba. BBKC diperkuat Mas Banon, Agus Doyok, Si Sur, Heri dan Si Kris (putra Pak Wito), Budi (almarhum, putra Pak Mijo), Sigit (putra Pak Narso), Djentot Sunarno, almarhum Lik Mul, Luluk (putra Pak Sayono), saya, dan ditambah Ari Prakosa (almarhum, putra Pak Panidi, Kedungringin) melawan klub Rajawali yang sebagian diperkuat pemain-pemain keturunan. Pertandingan digelar di Lapangan Kodim 0728.

Sayang partai final ini tidak berjalan mulus. Karena kepemimpinan wasit yang berpihak kepada lawan, terjadi kericuhan. Pemain BBKC tidak puas karena merasa dicurangi. Dampaknya, pendukung Kajen yang memang hadir dalam jumlah banyak, ikut merangsek ke dalam lapangan. Suasana jadi kacau dan bertambah panas.

Wasit dikerubuti pemain dan suporter Kajen yang memprotes keputusan yang tidak adil. Terjadi dorong dorongan. Tak ingin terjadi anarki, Pak Suripto, ketua pantia yang juga anggota ABRI (kalau tidak salah ketika itu berpangkat letda) yang bertugas di Kodim, meminta bantuan tentara yang tengah piket untuk ikut mengamankan suasana.

Beberapa suporter Kajen yang dianggap sebagai provokator, sempat diamankan di ruangan piket Kodim. Pertandingan pun tidak diteruskan. Meski tidak jadi juara, BBKC tetap bangga. Mereka tidak kalah oleh lawan tapi gagal karena kepemimpinan wasit yang buruk!

Para orangtua pemain dan suporter juga tetap merasa bangga. Buktinya, usai pertandingan para pemain dan suporter diarak pulang dengan naik bus Giri Indah yang di parkir di depan Kodim. Meski bukan pemilik, kita diarak karena para sopir bus itu kebanyakan warga Kajen!

Nilai luhur Pak Tarmin. Pendeknnya, berkat kegiatan olahraga pula, yang namanya tawuran antar remaja tidak ada. Begitu pula dengan kegiatan negatif seperti minum-minuman keras, apalagi narkoba, juga termasuk barang langka. Lewat olahraga pula, remaja Kajen dibina mentalnya untuk hidup sehat, menjunjung semangat, kompak, dan mau gotong royong.

Nilai-nilai luhur itu juga yang ditularkan oleh Pak Tarmin kepada warganya, terutama kaum remajanya. Meski kini Pak Tarmin sudah tiada, budi baik, jasa, dedikasi, pengabdian, bimbingan, dan teladannya, layak diteruskan.

Pak Tarmin, beristirahatlah dengan tentram. Kami hanya bisa berdoa, semoga amal dan ibadahnya mendapat balasan dari Allah.

*Broto Happy Wondomisnowo, warga Kajen RT 4 (kini RT 1/RW 11) yang sejak 1990 boro ke Jakarta untuk menjadi wartawan, penulis buku, dan komentator bulutangkis di sejumlah televisi.


Bogor-Jakarta, 23/12/2011