Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com
"Kreativitas adalah penciptaan.
Mengalami, tumbuh, ambil resiko.
Mematahkan peraturan, membuat kesalahan, dan bersukaria."
Itulah definisi kreativitas menurut aktivis komunitas, penulis kaligrafi dan pengarang asal Amerika, Mary Lou Cook.
Mary Lou Cook memang tak dikenal oleh warga Kajen.
Tetapi semangatnya mengilhami warga Kajen yang tumpah ruah pada hari Selasa pagi, pada tanggal yang cantik 21-12-2010, untuk memperingati Hari Ibu dengan aktivitas unik.
Liputan fotonya sebagai berikut :
Tanda cinta untuk ibu. Anak-anak Kajen, Giripuwo, Wonogiri, lelaki dan perempuan, juga kaum bapak, menyambut antusias acara unik ini. Walau dengan cara sederhana, mereka ingin menyatakan penghargaan bagi para ibu dan istri mereka.
Acara berlangsung di jalan utama kampung Kajen, persis di depan rumah keluarga Trah Kastanto Hendrowiharso. Dengan dipandu penggagas kegiatan, Mayor Haristanto yang warga asli Kajen tetapi kini tinggal di Solo sebagai penggerak Republik Aeng-Aeng, acara gembira ini berlangsung meriah, diikuti warga dengan riang dan bersemangat.
Antusiasme warga. Selain mengadakan acara mencuci baju ibu secara massal ["ada yang mengusulkan lain kali ramai-ramai cuci karpet"], warga Kajen sepakat untuk menancapkan janji bahwa mulai tanggal 21-12-2010 itu akan berusaha menghidupkan gagasan agar kampungnya menjadi kampung yang kreatif. Tekad membara itu mereka tunjukkan di depan kamera !
Kaling dan kreativitas. "Kegiatan ini saya sambut dengan hangat, selain sebagai ajang hiburan yang edukatif bagi warga Kajen, juga diniatkan untuk meraih tujuan yang lebih besar.Yaitu untuk memacu anak-anak kita, agar mereka sebagai insan-insan kreatif di masa depan." Demikian tandas Bapak Suroto (bertopi) ketika memberi semangat kepada warganya.
Nampak ia didampingi Basnendar HPS, warga Kajen yang kini menjadi pengajar di ISI Solo. Bas itu pula yang menciptakan desain "Kajen Kampung Kreatif" yang menjadi penanda visual kegiatan ini.Di latar belakang, para peserta sedang asyik mencuci pakaian ibu-ibu mereka.
Dipundak Erin dan kawan-kawan."Ayo kita cium bareng-bareng baju ibu kita. Bayangkan betapa besar cinta ibu kepada kita semua. Mulai hari in tunjukkan selalu cinta kita kepada ibu-ibu kita," demikian ajak Mayor Haristanto, sesaat sebelum peserta mulai mencuci. Ajakan itu juga diamini oleh Erin (kaos merah) dan kawan-kawan yang antusias mencuci baju ibu-ibu mereka.
Untuk istri tercinta. Bapak Suparno, tokoh enerjik dan berketerampilan multi guna dari Kampung Kajen itu, tidak ketinggalan. "Saya ikut kegiatan mencuci baju istri saya ini, sebagai tanda cinta kepada teman hidup yang mendampingi saya selama puluhan tahun di kampung ini," kata beliau yang suami mBak Tien, yang berasal dari Cepogo, Boyolali.
Selain Pak Suyatin dan putrinya dari Putukrejo, suami dari mBak Tien yang mengelola Warung Barokah ini cukup lama menjadi bintang di depan kamera wartawan televisi TATV dari Solo.
Selasa penuh gelora. Acara yang berakhir sekitar jam 10-an itu dilengkapi dengan pembagian hadiah secara undian.Dukungan dana dan hadiah antara lain dari diler motor Yamaha, Young Motor Wonogiri.Kerja sama ini bisa terjadi berkat hubungan dekat warga Kajen, yang dipelopori Mas Tarsan Heriyanto,dengan diler sepeda motor yang memiliki gerai dan bengkel di kampung Kajen itu pula.
Wartawan tabloid BOLA, Broto Happywondomisnowo, warga asli Kajen yang kebetulan mudik, ikut menyumbangkan kaos. Dua dari lima kaos itu antara lain disabet oleh Mas Sutiyo sebagai peserta paling sepuh, juga oleh Erin, peserta remaja paling menawan.
Happy juga menjadi pemberi hadiah belasan bingkisan berisi sabun hingga mi instan. Ibu Bhakti "Nuning" Hendroyulianingsih, menyediakan puluhan sachet Rinso untuk semua peserta. Ibu Betty Hermisnawaningsih, juga Eyang Narso Putri, dibantu Tasha, Mayang,menjadi seksi sibuk. Termasuk berbelanja, sampai mengemas hadiah dan makanan kecil yang kemudian dibagikan kepada peserta.
Kajen sebagai kampung kreatif mulai menggeliat.
Tunggu saja, gebrakan lainnya yang lebih menantang di masa depan.
Wonogiri, 21-24/12/2010
blog keluarga trah kastanto hendrowiharso dari kajen wonogiri yang seorang militer, ibu wiraswastawan dan anak-anak yang mengubah rumah menjadi sarang kreativitas sebagai bekal menjalani kehidupan yang tidak biasa di masa depan
Jumat, 24 Desember 2010
Trah Kastanto, Hari Ibu dan Kajen Kampung Kreatif
Rabu, 08 Desember 2010
Mavericks, Mother and Soldier
Catatan kenangan 28 tahun wafatnya Bapak Kastanto Hendrowiharso
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com
Hari Sabtu dan Minggu adalah hari humor keluarga.
Karena hari itu ayah saya, almarhum Kastanto Hendrowiharso (1928-1982), datang dari Yogya. Sebagai seorang prajurit TNI-AD, ia berdinas di Yogyakarta. Sementara keluarganya tetap tinggal di Wonogiri.
Saat itu, tahun 1966, saya duduk di bangku klas 6 SD Wonogiri III. Ketika lulus saya memperoleh piagam setengah kuarto dengan ketikan yang border-nya berupa tanda uang Amerika Serikat : $$$$$$$. Piagam itu sebagai tanda “Pemegang kedjuaraan ketjakapan didalam kelasnja.”
Yang menandatangani adalah Pengurus Persatuan Orangtua Murid (POM), terdiri pimpinan sekolah Siswomihardjo (ayah dari pelukis Godod Sutejo), ketua Hadisoebroto (ayah dari teman saya, Sugeng Sudewo) dan secretaris (memang tertulis pakai huruf “c”), Samto, bapak guru kelas 5 saat itu.
Saya tidak ingat lagi pada momen apa piagam itu saya terima. Hanya berkat ketelatenan ayah saya yang menyimpan dan melaminasinya dengan, plastik walau toh sebagian pinggirnya sudah gripis dimakan rayap, kenangan tentang masa 44 tahun yang lalu itu dapat tertayang. Memang hanya sepotong-sepotong.
Yang pasti, kehadiran ayah setiap Sabtu dan Minggu merupakan hari kegembiraan bagi kami bertuju, anak-anaknya saat itu. Kini anaknya ada sepuluh. Antara lain, Mayor Haristanto, Bhakti Hendroyulianingsih, Broto Happy Wondomisnowo sampai Basnendar Heriprilosadoso yang kreator logo Galeri Nasional di Gambir, Jakarta. Dalam foto di bawah ini, saya paling kiri, diambil tahun 1960. Ke kanan : Budi, Bari dan Mayor bersama Ibu. Dari istri kedua, Ibu Suminten, keluarga kami kemudian dikaruniai tiga putri : Bonar Heni Sumponorini, Dwi dan Yayuk.
Karena absennya figur bapak antara hari Senin sampai Sabtu, yang orangnya disiplin dan cermat, mungkin justru yang agak memberi “hawa bebas” bagi anak-anaknya. Bebas guna menyuburkan perilaku sikap-sikap kreatif bagi anak-anaknya pula. Bermain di kali Bengawan Solo (“kalau ketahuan, dihukum a la waterboarding-nya Dick Cheney, yaitu diguyuri air sampai kedinginan dan rada gelagepan”), berbagi humor, berkartun, melukis, dan menulis.
Pendek kata, memperoleh gemblengan tak sengaja untuk menjadi maverick :-). Boleh jadi karena hal itu pula, sehingga tak ada satu pun anaknya ketika dewasa tertarik mengikuti jejaknya sebagai tentara. Karena tentara merupakan sosok yang sepertinya “tidak kreatif” di mata kami. Terlalu banyak peraturan dan kekangan :-).
Cerita-cerita baru. Kegembiraan karena kedatangan ayah itu berkesan terutama bagi saya, sebagai anak pertama. Karena kami akan memperoleh cerita dan cerita baru yang dibawa beliau dari kota. Juga terkadang dongengan mengantar tidur.
Misalnya dongeng tentang Joko Kusnun.
Pemuda desa itu berkerjanya berjualan layang-layang. Suatu hari, naas, dirinya tertimpa hujan deras. Sehingga barang dagangannya rusak. Karena takut dimarahi ayahnya, ia tidak pulang ke rumah. Ia menggelandang di kota, tidurnya di pohon.
Kalau Anda melihat dua pohon beringin di depan gerbang kebon rojo, Taman Sriwedari Solo, saya selalu membayangkan Joko Kusnun memang tidur di sana. Di cabang pohon tersebut. Ia ditemukan sang raja ketika hendak bercengkerma di taman raja itu. Ia lalu mengabdi, sebagai punggawa istana.
Cerita lucu dari ayah saya meledak di mata anak-anaknya bila ia melakukan act out, yaitu menirukan beberapa aksi temannya sesama tentara. Misalnya ada tentara yang disebut nyentrik, yang seperti ayah saya setiap Sabtu akan pulang kampung. Ketika disapa, si teman tersebut akan selalu menjawab : “Biasa dik, minggon !”
Suatu saat lain, sang tentara teman ayah saya yang nyentrik itu berseru : “Tai asu ! Tai asu !” Rupanya ia menemukan kotoran anjing di halaman asrama tentara.
Kami langsung terserap perhatiannya.
Misalnya, apa yang akan terjadi dengan kotoran anjing tersebut ?
Dalam dunia mengkreasi lawakan, pancingan itu lajim disebut sebagai sebuah set up, jebakan. Disusul kemudian titik ledak yang tak terduga-duga, berpotensi mengguncang, memberikan kejutan, juga tawa, yang biasa diberi label sebagai punchline. Pak tentara nyentrik itu ternyata lalu bilang :
“ Nggo rabuk !”
Untuk pupuk.
Guna mempersubur tanaman.
Begitulah, ucapan “Biasa dik, minggon !” sampai kisah heboh kotoran anjing itu tetap sering muncul dalam cerita-cerita keluarga kami. Sampai kini.
Mendongeng di kelas. Momen lomba melucu antaranak juga terjadi ketika kami bermain remi. Ayah melawan anak-anaknya. Karena merasa memiliki status setara, maka ketika sang ayah mengalami kekalahan dalam permainan, dan harus menjadi pengocok kartu, ejekan pun berhamburan.
Kami sering menyebut-nyebut merek minyak obat gosok, yang berkhasiat menyembuhkan rasa capek bapak ketika harus dihukum sebagai pengocok kartu.
Reuni lomba melucu antaranak itu, bahkan sejak tahun 1987 memperoleh arena yang lebih luas. Melibatkan keluarga besar keturunan kakek-nenek dari garis Sukarni (1933-1993), ibu saya, yang bernama Trah Martowirono. Reuni tahun 2009 berlangsung di Benteng Vrederburg, Yogyakarta.
Mungkin karena gojlokan memperoleh cerita dan cerita itu, membuat salah satu pelajaran favorit saya di sekolah dasar adalah bercerita di depan kelas. Seingat saya, kalau teman-teman lain seperti almarhum Slamet Hartanto dan almarhum Suparno sering mengulang cerita mengenai kucing kurus melawan kucing gemuk, seingat saya saya pernah bercerita tentang Pemberontakan di Kapal Tujuh, Tenggelamnya Kapal RI RI Matjan Tutul, sampai Hikayat Indera Bangsawan.
Cerita dan dongeng rupanya menyemaikan kegemaran saya terhadap bacaan Buku favorit saya saat itu adalah serial novel Nogososro Sabukinten, karya S.H. Mintardjo. Seingat saya, pada jilid pertama, pembukanya berupa kalimat bernuansa menakutkan : “Awan hitam bergulung-gulung di langit Mataram,” yang kemudian sering saya contek dan saya modifikasi ketika ikut lomba mengarang.
Mungkin Pak Mintardjo terilhami oleh kalimat yang sering disebut-sebut sebagai contoh baris pembuka dalam pelajaran mengarang, yang berbunyi : “It was a dark and stormy night” yang terkenal itu.
Setiap awal bulan, ketika novel tentang Maheso Djenar itu terbit, saya menulis dalam sebuah kertas kecil. Misalnya, “Nogososro Sabukinten, jilid 10.” Lalu kertas itu saya masukkan diam-diam di kantung baju seragam ayah saya. Di hari Minggu sore. Sebelum ia kembali bertugas ke Yogya.
Mungkin dari hanya terbiasa menulis judul–judul buku di kertas kecil itu, saya kini menjadi memiliki kegemaran untuk menulis. Hingga mampu menghadirkan buku humor yang ketiga, dengan judul Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010) yang diluncurkan awal Desember 2010 ini.
Pasalnya, kertas kecil di saku baju tentara ayah saya itu, memang menghadirkan mukjijat. Karena pada hari Sabtu sore minggu depan saya telah memiliki buku baru dan bacaan baru, yang sangat saya idamkan.
Terima kasih, Pak Kastanto.
Juga Ibu Kastanto.
Ayah yang lahir tanggal 21 Januari 1928 di Wuryantoro, meninggal dunia mencapai usia 54 tahun tanggal 9 Desember 1982, hari Kamis Wage, di RSUD Wonogiri. Tanggal yang sama adalah tanggal kelahiran Tamilla Abassova, atlet balap sepeda Rusia dan Nathalie De Vos, atlet Belgia. Juga hari wafatnya Leon Jaworski (kelahiran 1905), hakim yang menangani kasus skandal Watergate di Amerika Serikat.
Setiba dari Jakarta, pagi itu saya diantar adik ipar saya Nano, ke rumah sakit. Beliau sudah dalam keadaan koma, karena sakit sirosis hati dalam tingkat lanjut. Saya mencatat suasana hati, juga membuat skets di buku harian saya, apa yang saya cerna dan rasakan saat itu.
Oleh ibu saya diminta mengucapkan sesuatu ke telinga beliau. Saya sebutkan nama saya, menyapa beliau. Sejurus kemudian, nampak genangan air mata. Rupanya beliau masih mendengar, moga-moga juga mendengar doa saya.
Semoga beliau kini tentram dan selalu sejahtera di sisiNya.
Wonogiri, 9 Desember 2010
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorline (at) hotmail.com
Hari Sabtu dan Minggu adalah hari humor keluarga.
Karena hari itu ayah saya, almarhum Kastanto Hendrowiharso (1928-1982), datang dari Yogya. Sebagai seorang prajurit TNI-AD, ia berdinas di Yogyakarta. Sementara keluarganya tetap tinggal di Wonogiri.
Saat itu, tahun 1966, saya duduk di bangku klas 6 SD Wonogiri III. Ketika lulus saya memperoleh piagam setengah kuarto dengan ketikan yang border-nya berupa tanda uang Amerika Serikat : $$$$$$$. Piagam itu sebagai tanda “Pemegang kedjuaraan ketjakapan didalam kelasnja.”
Yang menandatangani adalah Pengurus Persatuan Orangtua Murid (POM), terdiri pimpinan sekolah Siswomihardjo (ayah dari pelukis Godod Sutejo), ketua Hadisoebroto (ayah dari teman saya, Sugeng Sudewo) dan secretaris (memang tertulis pakai huruf “c”), Samto, bapak guru kelas 5 saat itu.
Saya tidak ingat lagi pada momen apa piagam itu saya terima. Hanya berkat ketelatenan ayah saya yang menyimpan dan melaminasinya dengan, plastik walau toh sebagian pinggirnya sudah gripis dimakan rayap, kenangan tentang masa 44 tahun yang lalu itu dapat tertayang. Memang hanya sepotong-sepotong.
Yang pasti, kehadiran ayah setiap Sabtu dan Minggu merupakan hari kegembiraan bagi kami bertuju, anak-anaknya saat itu. Kini anaknya ada sepuluh. Antara lain, Mayor Haristanto, Bhakti Hendroyulianingsih, Broto Happy Wondomisnowo sampai Basnendar Heriprilosadoso yang kreator logo Galeri Nasional di Gambir, Jakarta. Dalam foto di bawah ini, saya paling kiri, diambil tahun 1960. Ke kanan : Budi, Bari dan Mayor bersama Ibu. Dari istri kedua, Ibu Suminten, keluarga kami kemudian dikaruniai tiga putri : Bonar Heni Sumponorini, Dwi dan Yayuk.
Karena absennya figur bapak antara hari Senin sampai Sabtu, yang orangnya disiplin dan cermat, mungkin justru yang agak memberi “hawa bebas” bagi anak-anaknya. Bebas guna menyuburkan perilaku sikap-sikap kreatif bagi anak-anaknya pula. Bermain di kali Bengawan Solo (“kalau ketahuan, dihukum a la waterboarding-nya Dick Cheney, yaitu diguyuri air sampai kedinginan dan rada gelagepan”), berbagi humor, berkartun, melukis, dan menulis.
Pendek kata, memperoleh gemblengan tak sengaja untuk menjadi maverick :-). Boleh jadi karena hal itu pula, sehingga tak ada satu pun anaknya ketika dewasa tertarik mengikuti jejaknya sebagai tentara. Karena tentara merupakan sosok yang sepertinya “tidak kreatif” di mata kami. Terlalu banyak peraturan dan kekangan :-).
Cerita-cerita baru. Kegembiraan karena kedatangan ayah itu berkesan terutama bagi saya, sebagai anak pertama. Karena kami akan memperoleh cerita dan cerita baru yang dibawa beliau dari kota. Juga terkadang dongengan mengantar tidur.
Misalnya dongeng tentang Joko Kusnun.
Pemuda desa itu berkerjanya berjualan layang-layang. Suatu hari, naas, dirinya tertimpa hujan deras. Sehingga barang dagangannya rusak. Karena takut dimarahi ayahnya, ia tidak pulang ke rumah. Ia menggelandang di kota, tidurnya di pohon.
Kalau Anda melihat dua pohon beringin di depan gerbang kebon rojo, Taman Sriwedari Solo, saya selalu membayangkan Joko Kusnun memang tidur di sana. Di cabang pohon tersebut. Ia ditemukan sang raja ketika hendak bercengkerma di taman raja itu. Ia lalu mengabdi, sebagai punggawa istana.
Cerita lucu dari ayah saya meledak di mata anak-anaknya bila ia melakukan act out, yaitu menirukan beberapa aksi temannya sesama tentara. Misalnya ada tentara yang disebut nyentrik, yang seperti ayah saya setiap Sabtu akan pulang kampung. Ketika disapa, si teman tersebut akan selalu menjawab : “Biasa dik, minggon !”
Suatu saat lain, sang tentara teman ayah saya yang nyentrik itu berseru : “Tai asu ! Tai asu !” Rupanya ia menemukan kotoran anjing di halaman asrama tentara.
Kami langsung terserap perhatiannya.
Misalnya, apa yang akan terjadi dengan kotoran anjing tersebut ?
Dalam dunia mengkreasi lawakan, pancingan itu lajim disebut sebagai sebuah set up, jebakan. Disusul kemudian titik ledak yang tak terduga-duga, berpotensi mengguncang, memberikan kejutan, juga tawa, yang biasa diberi label sebagai punchline. Pak tentara nyentrik itu ternyata lalu bilang :
“ Nggo rabuk !”
Untuk pupuk.
Guna mempersubur tanaman.
Begitulah, ucapan “Biasa dik, minggon !” sampai kisah heboh kotoran anjing itu tetap sering muncul dalam cerita-cerita keluarga kami. Sampai kini.
Mendongeng di kelas. Momen lomba melucu antaranak juga terjadi ketika kami bermain remi. Ayah melawan anak-anaknya. Karena merasa memiliki status setara, maka ketika sang ayah mengalami kekalahan dalam permainan, dan harus menjadi pengocok kartu, ejekan pun berhamburan.
Kami sering menyebut-nyebut merek minyak obat gosok, yang berkhasiat menyembuhkan rasa capek bapak ketika harus dihukum sebagai pengocok kartu.
Reuni lomba melucu antaranak itu, bahkan sejak tahun 1987 memperoleh arena yang lebih luas. Melibatkan keluarga besar keturunan kakek-nenek dari garis Sukarni (1933-1993), ibu saya, yang bernama Trah Martowirono. Reuni tahun 2009 berlangsung di Benteng Vrederburg, Yogyakarta.
Mungkin karena gojlokan memperoleh cerita dan cerita itu, membuat salah satu pelajaran favorit saya di sekolah dasar adalah bercerita di depan kelas. Seingat saya, kalau teman-teman lain seperti almarhum Slamet Hartanto dan almarhum Suparno sering mengulang cerita mengenai kucing kurus melawan kucing gemuk, seingat saya saya pernah bercerita tentang Pemberontakan di Kapal Tujuh, Tenggelamnya Kapal RI RI Matjan Tutul, sampai Hikayat Indera Bangsawan.
Cerita dan dongeng rupanya menyemaikan kegemaran saya terhadap bacaan Buku favorit saya saat itu adalah serial novel Nogososro Sabukinten, karya S.H. Mintardjo. Seingat saya, pada jilid pertama, pembukanya berupa kalimat bernuansa menakutkan : “Awan hitam bergulung-gulung di langit Mataram,” yang kemudian sering saya contek dan saya modifikasi ketika ikut lomba mengarang.
Mungkin Pak Mintardjo terilhami oleh kalimat yang sering disebut-sebut sebagai contoh baris pembuka dalam pelajaran mengarang, yang berbunyi : “It was a dark and stormy night” yang terkenal itu.
Setiap awal bulan, ketika novel tentang Maheso Djenar itu terbit, saya menulis dalam sebuah kertas kecil. Misalnya, “Nogososro Sabukinten, jilid 10.” Lalu kertas itu saya masukkan diam-diam di kantung baju seragam ayah saya. Di hari Minggu sore. Sebelum ia kembali bertugas ke Yogya.
Mungkin dari hanya terbiasa menulis judul–judul buku di kertas kecil itu, saya kini menjadi memiliki kegemaran untuk menulis. Hingga mampu menghadirkan buku humor yang ketiga, dengan judul Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010) yang diluncurkan awal Desember 2010 ini.
Pasalnya, kertas kecil di saku baju tentara ayah saya itu, memang menghadirkan mukjijat. Karena pada hari Sabtu sore minggu depan saya telah memiliki buku baru dan bacaan baru, yang sangat saya idamkan.
Terima kasih, Pak Kastanto.
Juga Ibu Kastanto.
Ayah yang lahir tanggal 21 Januari 1928 di Wuryantoro, meninggal dunia mencapai usia 54 tahun tanggal 9 Desember 1982, hari Kamis Wage, di RSUD Wonogiri. Tanggal yang sama adalah tanggal kelahiran Tamilla Abassova, atlet balap sepeda Rusia dan Nathalie De Vos, atlet Belgia. Juga hari wafatnya Leon Jaworski (kelahiran 1905), hakim yang menangani kasus skandal Watergate di Amerika Serikat.
Setiba dari Jakarta, pagi itu saya diantar adik ipar saya Nano, ke rumah sakit. Beliau sudah dalam keadaan koma, karena sakit sirosis hati dalam tingkat lanjut. Saya mencatat suasana hati, juga membuat skets di buku harian saya, apa yang saya cerna dan rasakan saat itu.
Oleh ibu saya diminta mengucapkan sesuatu ke telinga beliau. Saya sebutkan nama saya, menyapa beliau. Sejurus kemudian, nampak genangan air mata. Rupanya beliau masih mendengar, moga-moga juga mendengar doa saya.
Semoga beliau kini tentram dan selalu sejahtera di sisiNya.
Wonogiri, 9 Desember 2010
Langganan:
Postingan (Atom)